RELAKTASI PADA BAYI BINGUNG PUTING DENGAN ANKYLOGLOSSIA DAN IBU RIWAYAT ABSES PAYUDARA

dr. Qotrun Nada, Dokter Laktasi, Jakarta 

KASUS

Bayi N Perempuan usia 2 bulan 8 hari anak pertama dari Tn J (30th) dan  Ny. Y (30 th) datang ke poli anak konsultan laktasi di RS Swasta Depok Jawa Barat pada 27 Juni 2024. Ibu bekerja sebagai perawat di RS daerah Pasar Minggu dan Ayah sebagai tenaga farmasi di RS swasta Lebak Bulus. Ayah dan ibu dirujuk oleh dokter anak di RS swasta Lebak Bulus karena melihat adanya masalah pada tali lidah pendek atau tongue tie dan tali bibir atau lip tie pada bayi. Ibu juga mengeluhkan adanya nyeri pada payudara kanannya hilang timbul satu minggu belakangan ini. 

Bayi N lahir 20 April 2024 spontan di RS swasta daerah Lebak bulus. Sejak lahir bayi disusui di payudara namun bayi sering lepas-lepas saat menyusu dan ibu merasa nyeri pada payudara saat menyusui bayi. Bayi lebih sering diasuh oleh nenek sehingga diberikan juga ASIP (Air Susu Ibu Perah) dengan botol dot. Kemudian ibu konsultasi ke poli laktasi di RS Lebak Bulus dikatakan ada masalah tali lidah, kemudian diobservasi untuk perbaiki posisi dan pelekatan saja. Ibu sudah diminta untuk tidak perah dengan mesin pompa dan diajarkan perah dengan tangan.

 Pada 24 Mei 2024 lalu saat usia bayi 1 bulan, ibu datang sambil menangis ke poli laktasi RS di Depok karena mengeluh payudara kanan bengkak disertai demam dan didiagnosis abses payudara kanan. Ibu disarakan operasi payudara kanan. Akhirnya ibu memutuskan untuk operasi insisi drainase pada 25 Mei 2024 lalu di RS Swasta Lebak Bulus dengan asuransi kantor suami.

 Setelah operasi, ibu sudah tidak pernah menyusui bayi secara langsung dan lebih memilih untuk memompa payudara lalu memberikan ASIP ke bayi dengan menggunakan dot. Ibu rutin perah tiap 3 jam, setiap perah mendapatkan sekitar 80-100 cc ASIP. Ibu takut akan mengalami abses lagi dan menceritakan keluhannya saat bayi vaksin ke dokter spesialis anak di Lebak Bulus. sehingga ibu dan Bayi N dirujuk dan memutuskan mengunjungi dokter anak konsultan laktasi di sebuah RS di Depok. Saat kunjungan, cuti ibu hampir selesai. Lalu ibu diberikan surat untuk perpanjangan cuti oleh dokter anak konsultan laktasi dan disarankan untuk mengajukan ke RS tempat ibu bekerja. 

Ibu dan ayah ingin bisa berhasil menyusui bayinya selama 2 tahun karena ASI merupakan makanan yang halal dan baik bagi bayi. Setelah dijelaskan mengenai perintah menyusui sesuai perintah agama dan anjuran WHO, keinginan ayah dan ibu untuk menyusui hingga 2 tahun semakin kuat. 

Bayi N lahir dengan berat badan lahir 2.985 gram. Pada pemeriksaan tanggal 27 Juni 2024 berat badannya mencapai 5.585 gram. Status Gizi baik dengan kenaikan berat badan Bayi N mencapai 38 g/hari dari berat badan lahir. Bayi sudah dibiarkan lapar dan terakhir menyusu 3 jam lalu sebelum kunjungan ke poli. Pada saat observasi menyusui di payudara kiri posisi cradle, bayi sempat menangis dan menolak menyusu. Kemudian mau menghisap hingga 2 hisapan. Hisapan sering lepas-lepas dan bayipun menangis. Ibu juga menjadi gelisah karena payudara masih terasa nyeri dan tidak tega melihat anaknya menangis.  Pada pemeriksaan didapatkan adanya tongue tie antero-medial dan lip tie grade IV dengan Carrol Dobrich score 5/10 dan 5/10.  

Dokter menyarankan agar dilakukan frenotomi atau pemotongan frenulum pada tongue tie dan lip tie bayi untuk membantu proses menyusui. Orang tua bayi setuju untuk dilakukan frenotomi secara bertahap. Frenotomi tongue tie dilakukan saat bayi masih di poli kemudian bayi dicoba untuk menyusu dengan posisi cross cradle di payudara kiri. Bayi  menghisap 1-3 hisapan lalu dilepas dan menangis lagi. Ibu merasa ada perbedaan setelah frenotomi. Puting tidak terasa nyeri saat dihisap bayi dan tampak mulut bayi terbuka lebih lebar namun bibir atas bayi masih terlipat kedalam. Bayi masih rewel saat didekatkan kearah payudara. Sehingga bayi ditenangkan terlebih dahulu dengan digendong ayun.

Bayi didiagnosis mengalami bingung puting parsial. Lalu disarankan agar ibu dan bayi melakukan Relaktasi Metode Praborini yaitu bayi dan ibu dirawat gabung atau disebut dengan baby moon dengan melakukan kontak kulit ke kulit atau skin to skin selama 24 jam hanya berhenti saat mandi atau sholat, diputar murotal Al-Quran terutama Surah Ar-Rahman dan menggunakan alat suplementasi atau disebut SNS (Supplementary nursing system) untuk membantu bayi menyusu. Ayah dan ibu setuju, lalu diarahkan ke poli laktasi untuk diajarkan pemasangan alat suplemetasi dan cara skin to skin

Selama menunggu masuk poli laktasi, ibu merasa payudara penuh lalu dipompa dan mendapat sekitar 100 ml ASIP dari kedua payudara. Saat di poli laktasi, ibu diajarkan pasang alat SNS. Ibu tampak kagok saat dicoba untuk menyusui bayi dengan SNS di payudara kiri. Murotal sudah diputar dan sambil digendong goyang bayi masih rewel dan tidak mau menghisap. Ayah diajarkan untuk membantu mengalirkan SNS. Payudara diganjal dengan popok yang digulung lalu diajarkan posisi cross cradle di payudara kiri. Saat SNS dibantu ditekan, bayi bisa menghisap kontinyu. Namun, bila tidak dialirkan bayi melepas pelekatan dan menangis. ASIP habis sebanyak 30cc. Kemudian dibantu memasangkan kain jarik untuk menggendong bayi. Ibu dan bayi skin to skin dan ibu memakai kimono tanpa bra. 

Pada pemeriksaan dipoli laktasi, didapatkan kedua payudara ibu besar menggantung. Produksi ASI baik. Pada payudara kanan tampak bekas luka operasi yang sudah menutup, di sekeliling areola teraba keras dan nyeri saat ditekan.  Payudara kiri teraba lebih lunak dan tidak ada nyeri saat ditekan.  Setelah diperiksa jumlah total EPDS (Edinburgh Postnatal Depression Scale ) adalah 14 skor 0 pada no.10 dan dicurigai mengarah ke depresi pasca bersalin atau PPD (Post Partum Depression) namun keluarga menolak untuk dikonsulkan ke psikiater. Selama dirawat ibu mendapatkan vitamin D 3x 10.000 IU.

Selama dirawat, bayi berhenti menggunakan dot, dan menyusu dipayudara ditambah SNS yang diisi ASIP dengan aturan pemberian 6x60cc. Bayi diberikan obat puyer dan diolesi gel lidah buaya pada bekas inisisi frenotomi sebanyak 3 kali sehari. Bayi juga akan difisioterapi dan dilakukan frenotomi lip tie  bila sudah ada perbaikan pelekatan. 

Saat kunjungan sore hari di ruang rawat ibu dan bayi tidak skin to skin karena ibu sedang memompa payudara dan mendapat ASIP sekitar 100 cc dari kedua payudara. Kemudian dicoba untuk menyusu dengan SNS posisi cross cradle payudara kanan sambil duduk bersandar. Bayi mau menghisap payudara sesekali sambil menangis. Bayi lebih nyaman saat aliran SNS lebih deras. ASIP habis sekitar 90cc. Setiap mendengar tangisan bayi, ibu juga ikut menangis.

Pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dokter laktasi melakukan kunjungan dan bayi tidur di samping ibu diiringi suara murotal. Setelah kunjungan sore hari, ibu berkata bayi mulai mau menyusu hingga tertidur. Kemudian dilakukan frenotomi pada lip tie dan bayi langsung diarahkan menyusu. Setelah frenotomi, ibu mencoba menyusui bayi namun bayi menangis lagi dan tidak mau menghisap payudara. Ibu dan bayi kembali skin to skin sambil bayi digendong ayun. Tidak lama kemudian bayi sendawa dan langsung tertidur. 

Keesokan pagi yaitu tanggal 28 Juni 2024 dokter anak konsultan laktasi melakukan kunjungan dan tampak adanya perbaikan pola menghisap bayi. Sehingga ibu dan bayi direncanakan pulang tanpa menggunakan SNS. Ibu diberikan tambahan obat Cipralex 1×5 mg yang dikonsumsi malam hari dan melanjutkan konsumsi probiotik 1×1 tablet sehari. Lalu kontrol ke poli laktasi tanggal 30 Juni 2024. 

Ibu dan bayi datang bersama nenek bayi ke Poli laktasi RS di Depok untuk kontrol pasca rawat inap tanggal 30 Juni 2024. Ibu mengeluhkan terkadang bayi masih rewel saat menyusu di payudara kiri dan terdengar suara berdecak saat bayi menyusu. Saat malam hari, ibu menyusui bayi sambil duduk. Ibu belum pernah mencoba menyusui bayi sambil berbaring miring. Ibu berencana ke kantor besok untuk mengajukan perpanjangan cuti tambahan. Ibu minta nenek diajarkan pemberian ASIP dengan gelas karena khawatir perpanjangan cuti tidak disetujui. 

Saat diperiksa, Bayi N berusia 2 bulan 11 hari dengan berat badan 5.745 gram, status gizi baik, bekas luka frenotomi juga baik dan tidak ada perdarahan. Bayi juga sudah bisa menghisap payudara dengan baik. Ibu juga diajarkan untuk melakukan senam lidah dan senam bibir kepada bayinya sebanyak 5 kali sehari selama 3 minggu, mengoleskan gel lidah buaya 5 kali sehari di bekas sayatan frenotomi dan bayi melakukan tummy time sesering mungkin senyaman bayi. Kemudian, nenek bayi diajarkan menggunakan gelas sloki untuk memberikan ASIP kepada bayi. Bayi masih diberikan obat puyer sesuai kebutuhan. Ibu melanjutkan konsumsi Vitamin D 3×10.000 IU, Cipralex 1x5mg dan kontrol pada tanggal 2 Juli 2024 mendatang ke poli anak konsultan laktasi di RS swasta Depok. 

Pada tanggal 2 Juli 2024, bayi datang ke poli anak konsultan laktasi dibawa ibu dan nenek bayi. Ibu mengatakan sudah tidak ada keluhan saat menyusu. Saat kontrol, usia bayi 2 bulan 13 hari dengan berat badan 5.620 gram didapatkan status gizinya baik dan bingung puting sudah dinyatakan sembuh. Terapi sebelumnya untuk ibu tetap dilanjutkan. Namun surat cuti ibu tidak disetujui sehingga ibu tetap masuk kerja tiap pagi hari dari pukul 7.00-14.00 WIB. Obat puyer untuk bayi dihentikan, lalu senam lidah dan senam bibir dikurangi menjadi 3 kali sehari. 

Bayi kontrol pada tanggal 9 Juli 2024 bersama ibu dan nenek bayi. Ibu mengeluh payudara kanan terkadang terasa keras lagi. Saat bayi menyusu masih sering terdengar bunyi decak. Ibu sudah masuk kerja dan dirumah bayi diberikan ASIP dengan sendok oleh nenek bayi. Karena saat ASIP diberikan dengan gelas, nenek bayi mengatakan jadi lebih banyak ASIP yang tumpah. 

 Ibu memompa payudara 3 kali saat sedang bekerja. Pukul 7.30, pukul 10.00 dan 12.30 lalu saat sudah pulang ke rumah langsung menyusui bayinya. Ibu khawatir berat badan anak tidak naik karena merasa bayi sedikit minum ASIP dengan sendok. Kemudian dijelaskan oleh  dokter bahwa bayi akan memenuhi kebutuhan ASInya saat menyusu dipayudara langsung. Sehingga ibu tidak perlu khawatir bayi akan kekurangan ASI karena minum ASIP dengan sendok. Bayi juga mendapatkan cukup ASI diketahui dari kenaikan berat badan bayi diusia 2 bulan 20 hari menjadi 5.800 gram naik 25,7 gram/hari sejak kontrol satu minggu lalu. Bayi sudah bisa menyusu dengan baik di payudara. 

Pada tanggal 31 Juli 2024 bayi dibawa oleh ayah dan ibu ke poli laktasi. Ibu mengeluh ayi sering terdistraksi saat menyusu langsung di payudara. Ibu jugan merasa nyeri dan terdapat benjolan atau grenjel di kedua payudara sejak 1 minggu. keluhan demam disangkal. Saat diperiksa, didapatkan adanya benjolan di kedua payudara disertai nyeri tekan, dan tidak tampak kemerahan pada kedua payudara. Usia bayi sudah 3 bulan 12 hari dengan berat badan 6.435 gram, berat badan naik 27,6 g/hari dan status gizinya baik. Ibu disarankan untuk menyusui ditempat yang lebih tenang dan minim distraksi. Ibu didiagnosis statis ASI dikedua payudara. Lalu Ibu dianjurkan untuk diet rendah lemak, rutin melakukan pijat payudara atau TBML (Therapeutic Breast Massage for Lactation ) serta meneruskan pengobatan yang sebelumnya. 

Saat ini, ibu merasa sudah tidak ada benjolan di payudara dan tetap rutin mengonsumsi obat yang diberikan. Ibu juga masih menyusui bayi dan memompa payudara saat bekerja. Ibu sudah diet rendah lemak dan mengurangi konsumsi kacang-kacangan. Bayi juga bisa menyusu dengan baik dan dicoba disusui di ruangan yang tenang untuk meminimalisir gangguan. 

DISKUSI 

Relaktasi adalah usaha untuk mengembalikan bayi menyusu kembali ke payudara, setelah sebelumnya bayi pernah menyusu lalu berhenti dan ibu yang sebelumnya menyusui berhenti menyusui.1 Tiga hal penting yang diperlukan untuk relaktasi adalah keinginan yang kuat dari ibu, stimulasi pada puting payudara, dan sistem pendukung yang kuat. Penelitan Praborini dkk2 pada tahun 2016 menyebutkan, keberhasilan relaktasi dengan metode Praborini mencapai 91.4% yaitu sebanyak 53 kasus berhasil dari 58 kasus. Semakin muda usia bayi dan cepat dideteksi maka angka keberhasilannya akan semakin tinggi. Dari 58 kasus bayi bingung puting, terdapat 96.6 % bingung puting total, dan 79.3% dari kasus tersebut diakibatkan penggunaan botol dan adanya tongue tie.  Lamanya perawatan bervariasi antara 1 hari (56.9%) sampai dengan 5 hari (3.4%).

Bayi yang diberikan dot untuk menyusu dapat menjadi bingung puting karena proses menghisap di payudara dan botol dot itu berbeda. Bayi tidak perlu membuka mulutnya dengan lebar, dan tidak perlu memasukkan dot jauh kedalam mulut. Karet dot yang relatif kurang lentur dapat mengakibatkan lidah tidak bergerak dengan ritmik. Ditambah aliran dari botol yang sangat deras karena gravitasi bahkan tanpa hisapan mengakibatkan bayi berusaha meletakkan lidah pada lubang dot untuk memperlambat aliran susu.3

Bila ASI sudah keluar lebih banyak di hari ketiga dan isapan bayi baik, maka normalnya payudara ibu tidak akan bengkak. Setelah dihisap bayi, maka payudara akan kosong dan melunak, tidak ada sisa yang menggrenjel atau keras di beberapa bagian. Namun bila ibu dan bayi terpisah atau bayi tidak mengisap dengan baik maka payudara bisa bengkak. Karena produksi ASI banyak namun, terjadi masalah pada pengeluaran ASI. Tanda payudara bengkak ialah keras bila dipegang, kulitnya licin mengkilap.1 Gejala payudara bengkak ini dapat berlanjut menjadi mastitis dan bila tidak ditangain dengan baik menjadi abses payudara. 

Ibu Y memiliki riwayat abses payudara setelah sebelumnya rutin memompa payudara dan memberikan ASIP dengan dot namun tidak rutin menyusui anaknya langsung dipayudara saat awal kelahiran karena merasa puting sakit saat menyusui bayi. Kemudian muncul tanda mastitis dan berlanjut ke abses payudara kanan hingga dilakukan insisi drainase. Abses payudara didefinisikan sebagai kumpulan eksudat inflamasi lokal pada payudara.4 Abses payudara merupakan komplikasi dari mastitis laktasi jika tidak dikelola dengan cara yang cepat. Untuk ibu menyusui, kejadiannya mastitis berkisar antara 3% hingga 20%.5 Gejala yang pernah Ibu Y alami membuat ibu Y datang ke konsultan laktasi agar tidak mengalami abses berulang.

Memompa payudara dengan alat pompa dapat merangsang produksi ASI tanpa mengeluarkan ASI secara fisiologis kemauan bayi. Pompa payudara juga dapat menyebabkan trauma parenkim payudara dan kompleks areolar puting jika ukuran corong yang digunakan tidak tepat, hisapan terlalu tinggi, atau ibu memompa payudara terlalu lama. Ibu tidak boleh diinstruksikan untuk memompa payudara dan membuang susunya, karena mastitis akibat infeksi bakterial bukanlah kontra indikasi untuk menyusui. Sehingga, ABM (Academy of Breastfeeding Medicine) menganjurkan bagi ibu yang mengalami mastitis untuk tetap menyusui anaknya langsung dipayudara dan mengurangi memompa payudara.6  Menyusui berlebihan dari payudara yang terkena mastitis atau ”memompa payudara hingga kosong” akan melanggengkan siklus hiperlaktasi dan merupakan faktor risiko utama memburuknya kondisi peradangan.7 Ibu bisa perah ASI dengan tangan untuk kenyamanan saja tidak perlu sampai terasa kosong.

Studi di Amerika menunjukan adanya hubungan memompa payudara dengan alat pompa dan kejadian mastitis pada ibu menyusui.8 Pada penelitian lain yang mengamati hubungan antara penggunaan pompa dan kejadian mastitis, pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, sehingga membuat tidak jelas apakah penggunaan pompa ASI penyebab atau akibat mastitis.9  

Ankyloglossia didefinisikan sebagai sisa embriologis dari jaringan membran frenulum di garis tengah antara permukaan bawah lidah dan dasar mulut yang pendek, tebal, dan tidak elastis sehingga membatasi gerakan normal lidah.10 Kondisi ankyloglossia merupakan varian genetik dan merupakan salah satu penyulit pada proses menyusui. Ankyloglossia pada bayi dikaitkan dengan 25% hingga 60% insiden terjadinya  kesulitan menyusui, seperti gagal tumbuh (failure to thrive), luka pada payudara ibu, nyeri pada payudara ibu, suplai ASI yang rendah, payudara bengkak, dan bayi menolak payudara atau bingung puting.11  Ankyloglossia pada anak juga dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti kesulitan makan, gangguan bicara, kebersihan mulut yang buruk, dan masalah gigi. 12

Tindakan yang paling umum dilakukan untuk mengatasi ankyloglossia pada bayi adalah frenotomi sederhana. Frenotomi dilakukan dengan memotong beberapa milimeter ke dalam frenulum lidah. Prosedur ini relatif singkat dan biasanya hanya menyebabkan perdarahan minimal. Kontrol perdarahan dapat dicapai dengan menyusui secara langsung. Menyusui langsung juga berfungsi melatih lidah agar semakin lentur dan juga memiliki efek analgesik dan antiseptik.12

KESIMPULAN

Ankyloglossia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kesulitan menyusui yang bisa berdampak pada masalah payudara seperti menyebabkan abses payudara. Pemberian ASIP dengan botol dot bukan solusi dari proses menyusui yang bermasalah. Sehingga, diperlukan tatalaksana seperti frenotomi untuk ankyloglossia dan relaktasi untuk membantu ibu kembali menyusui bayinya. Karena dengan menyusui langsung dipayudara dapat mengurangi peradangan dan mencegah abses payudara berulang. 

Metode relaktasi Praborini dengan rawat inap terbukti efektif dan bisa diimplementasikan sesegera mungkin agar ibu dan bayi bisa menyusu dengan baik. Kesabaran dan konsisten orang tua serta support sistemnya dibutuhkan untuk bisa berhasil relaktasi. Selain itu dibutuhkan juga kerjasama multidisiplin ilmu baik dari dokter spesialis anak, dokter laktasi, perawat, bidan dan seluruh elemen rumah sakit yang memberikan pelayanan untuk membantu ibu sukses mengasihi. 

Referensi 

  1. Praborini, A. Wulandari, R.A. Anti Stres Menyusui. Jakarta : Kawan Pustaka. 2022
  2. Praborini, A et al. Hospitalization for Nipple Confussion – A Method to Restore Healthy Breastfeeding. Clinical Lactation. 2016; 7(2) DOI: 10.1891/2158-0782.7.2.69
  3. Eveline P. Bingung Puting. 2014 https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/bingung-puting,. Diakses pada 1 Agustus 2024
  4. Amir LH. ABM Clinical Protocol #4: Mastitis. Breastfeeding Med. 2014;9(5):239–243. doi:10.1089/bfm.2014.9984
  5. Kataria K, Srivastava A, Dhar A. Management of lactational mastitis and breast abscesses: review of current knowledge and practice. Indian J Surg. 2013;75(6):430–435. doi:10.1007/s12262-012-0776-1
  6. Mitchell, K et al. Academy of Breastfeeding Medicine Clinical Protocol #36: The Mastitis Spectrum, Revised 2022. Breastfeeding Medicine Volume 17, Number 5, 2022. doi: 10.1089/bfm.2022.29207.kbm
  7. Kuehnl JM, Connelly MK, Dzidic A, et al. The effects of incomplete milking and increased milking frequency on milk production rate and milk composition. J Anim Sci 2019; 97: 2424–2432. doi: 10.1093/jas/skz113.
  8. Foxman B, D’Arcy H, Gillespie B, Bobo JK, Schwartz K. Lactation mastitis: Occurrence and medical management among 946 breastfeeding women in the United States. Am J Epidemiol. 2002; 155:103–14. doi: 10.1093/aje/155.2.103
  9. Deng Y, Huang Y, Ning P, Ma SG, He PY, Wang Y. Maternal risk factors for lactation mastitis: A meta-analysis. West J Nurs Res. 2021; 43:698–708. doi: 10.1177/0193945920967674
  10. IDAI. Diagnosis dan Tatalaksana Tongue tie. BP IDAI. 2017
  11. Forlenza, et al. Ankyloglossia, Exclusive Breastfeeding and Failure to Thrive. Pediatrics. 2010; 125 (6): e1500–e1504. doi: 10.1542/peds.2009-2101.
  12. Segal LM, Stephenson R, Dawes M. Prevalence, diagnosis, and treatment of ankyloglossia. Can Fam Physician. 2007 Jun; 53(6): 1027-1033. PMC194921

Leave a Reply

Your email address will not be published.